banner-ads

Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, nama M. Aan Mansyur menjadi angin segar di dunia sastra Indonesia. Kelihaiannya mengolah kata-kata dan menjelajah bahasa menjadikan Aan, nama panggilan akrabnya, the rising star dalam khazanah literatur Tanah Air.

“Pertama kali saya menonton film AADC yang pertama waktu saya masih kuliah. Waktu itu saya baru benar-benar merintis ingin menjadi penyair. Setahun sebelumnya, saya “nembak” cewek dengan puisi. Dan saya nonton beberapa kali dengan pacar saya waktu itu. Saya sangat yakin mantan pacar saya kalau sekarang dia nonton AADC 2 dia akan ingat banyak sekali hal. Mungkin saya termasuk salah satu orang yang paling sering nonton AADC. Saya merasa film itu bener-bener berhasil memotret era itu. Kita tidak menemukan banyak di budaya pop Indonesia bagaimana film berhasil memotret budaya pop pada satu era. Itu menurutku yang berhasil dilakukan AADC.”

Lewat akun Twitter @hurufkecil, Aan mengungkapkan pemikirannya yang puitis. Lewat buku-buku puisinya yang sudah diterbitkan, seperti “Kukila” (2012), “Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia” (2014) dan “Melihat Api Bekerja” (2015), Aan menuai pujian dan penghargaan atas kepiawaiannya bertutur dengan indah.

“Jadi terbayang bagaimana kagetnya saya, ketika mbak Mira meminta saya untuk terlibat di AADC 2 ini. Bulan April lalu, waktu persiapan peluncuran buku puisi saya di Jogja, mbak Mira bertanya, “Kami lagi mau bikin AADC2 nih, dan kita butuh puisi. Kamu mau nggak?” Saya pikir, kenapa tidak? Saya bilang sama mbak Mira, kalau ajakan ini berarti sama dengan saya diberi kesempatan untuk berterimakasih sama AADC. Bagaimanapun, saya merasa AADC punya sumbangsih besar sekali. Mau orang akui atau tidak, AADC punya peran besar banget membuat wajah puisi Indonesia sekarang. Jadi orang tiba-tiba juga membaca puisi, anak-anak muda dulu atau orang mungkin pikir cuma yang tua-tua banget, kita nggak membayangkan anak-anak muda bawa-bawa buku puisi, baca puisi. Terlibat di sini sekarang artinya membuat saya sebagai orang yang menulis puisi bisa lebih percaya diri.”



“Proses pengerjaan puisi-puisi di AADC2 ini cukup panjang. Saya banyak melakukan riset. Saya menonton lagi AADC yang pertama berulang-ulang. Saya belum pernah ke New York, jadi saya banyak membaca buku tentang kota New York, termasuk tentang pendatang yang tinggal di sana. Suasana semacam apa yang bisa dia rasakan ketika dia kangen tanah airnya, atau orang-orang yang dia cintai di negaranya, tapi dia harus tinggal di New York. Saya mengikuti sejumlah akun Instagram orang-orang yang memotret kota New York supaya saya bisa lihat warna-warninya. Selama sekitar tiga bulan menulis puisi-puisi ini, saya seperti harus meletakkan kepalaku dan memasang kepala Rangga untuk melihat cara berpikir Rangga. Puisi-puisi Rangga di film ini lahir dari cara berpikir Rangga, dan juga persoalan-persoalan yang dihadapi Rangga. Rangga begitu percaya dengan yang disebut sebagai kekuatan kata-kata dan kekuatan bahasa.”

Lewat novel-novelnya seperti “Perempuan, Rumah Kenangan” (2007) dan “Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi” (2015), Aan membuktikan kelihaiannya dalam bercerita. Kini, Aan menghadirkan puisi-puisi terbarunya di film Ada Apa Dengan Cinta 2 (#AADC2) yang khusus ia buat untuk film ini.

“Saya selalu punya harapan tentang apa yang saya tulis. Dengan terlibatnya kembali puisi ke dalam film, orang menjadi percaya dengan kata-kata. Orang jadi lebih memikirkan kalau mau ngomong sesuatu. Terutama buat orang-orang yang akan menonton film ini. Saya ingin orang kembali percaya dengan kekuatan bahasa. Bukan hanya sebagai alat komunikasi. Bukan hanya sebagai, seperti bahasa yang sekarang dikuasai oleh tema-tema ekonomi, politik. Orang semakin susah percaya bahwa ada kekuatan lain. Kekuatan imajinasi. Bahasa itu semesta yang besar sekali. Kalau kamu jernih berbahasa sebetulnya cara berpikirmu menjadi lebih bagus. Saya ingin puisi-puisi di AADC2 ini menjangkau lebih jauh dari apa yang sudah diraih AADC yang pertama. Ditambah lagi, saya membayangkan orang-orang yang membaca puisi ini adalah orang-orang yang dekat tapi jauh sekali. Penuh paradoks-paradoks seperti itu si puisi ini. Bahwa yang dekat menjadi jauh, yang jauh menjadi terasa dekat. Seperti mendapatkan surat dari orang yang begitu kita rindukan sekaligus kita benci.”