Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali ke titik krisis moneter 1998, mendekati 14.000

banner-ads

Memasuki hari kedua devaluasi mata uang Cina, Yuan, dampaknya makin dahsyat. Bank Central Cina kembali memangkas lagi nilai tukar mata uang uang nasionalnya hingga mencapai rekor terendahnya, 1,9 persen (13/8).

Pemerintah Cina melakukan depresiasi mata uangnya sebesar 1,6 persen (12/8). Ini merupakan penurunan terbesar yuan terhadap dollar AS dalam sejarah Cina selama lebih dari 20 tahun ini. Kebijakan ini dibuat untuk mendorong kembali nilai ekspornya yang terus merosot sampai 8 persen hingga Juli lalu. Atas keputusan ini Cina dituding memulai perang mata uang yang membuat pasar global anjlok seketika.

Meskipun pihak bank memastikan ini enggak akan jadi depresiasi berkelanjutan, tapi dampaknya ke pasar Asia sudah mulai terasa. Di pasar Indonesia, dikawatirkan terjadi banjir produk Cina yang ‘mematikan’ produk lokal. Tapi dampak yang langsung terlihat, mata uang Indonesia dan Malaysia yang paling merana.

Dari data Reuters (Kamis, 13/8), pada 2011, dollar AS masih menduduki angka Rp 8500 dan 4 ringgit di Malaysia. Hari ini, nilai tukar keduanya kembali ke titik krisis moneter 17 tahun lalu, 1998. Rupiah anjlok makin mendekati Rp. 14.000 dan 4 ringgit.

Sejak awal tahun hingga Agustus ini rupiah dan ringgit memang terus anjlok. Paling dalam dibandingkan dua negara tetangganya, Thailand dan Filipina. Baht Thailand hanya mengalami koreksi -6,4 persen, peso Filipina -2,2 persen, sementara rupiah -10 persen dan ringgit -13 persen.