Selama sebulan penuh atensi dunia tertuju ke Brasil. Baik untuk menyaksikan pertandingan menarik, merayakan lahirnya hampir 200 gol, hingga terlibat dalam keasyikan laga-laga penuh kejutan. Saya yakin siapa pun yang datang ke Brasil, mulai delegasi, tim peserta, sampai para turis, bakal membawa pulang pengalaman mengenal sebuah negara yang dibangun oleh rakyat penuh cinta dan kehangatan di mana perbedaan adalah hal utama.”
Dalam lanjutan suratnya, presiden perempuan pertama dalam sejarah panjang negerinya itu, juga mengungkapkan bahwa satu-satunya yang kurang dari pesta besar Brasil adalah kegagalan Selecao meraih titel juara. Namun, meski tak bisa menambahkan satu lagi bintang di jersey timnas, Brasil tetap layak merayakan keberhasilan sebagai tuan rumah yang baik.
Hal yang tentu tidak mudah mengingat begitu besar kritik yang dihunjamkan media barat menyoal ketidaksiapan sarana transportasi, akomodasi, hingga infrastruktur, serta begitu luas penolakan yang disuarakan warga setempat menjelang bergulirnya kejuaraan.
Memang harus diakui bahwa sepanjang berjalannya turnamen sempat muncul sejumlah insiden di berbagai kota. Dari Belo Horizonte, Sao Paulo, hingga Rio de Janeiro, aksi unjuk rasa menolak keberadaan FIFA sempat dilakoni para demonstran.
Namun, skalanya terbilang minor sehingga bisa dengan relatif mudah diatasi oleh aparat keamanan.
Dua kekalahan telak beruntun, 1-7 dari Jerman di semifi nal dan 0-3 dari Belanda di perebutan tempat III, yang semula dikhawatirkan bakal melahirkan gelombang demonstrasi masif, ternyata tidak menjadi kenyataan. Bahkan, invasi” warga Argentina, rival abadi, yang datang guna menyaksikan Lionel Messi dkk. di fi nal, tak cukup untuk memancing emosi warga Brasil.
Dilma tampak memahami betul karakter warganya. Sebagai eks pentolan sayap kiri beraliran Marxis, yang juga sempat mengalami penyiksaan hebat saat dipenjara pada 1970-1972, ia tahu persis bahwa keganasan para demonstran bukanlah cerminan masyarakat Brasil secara umum, melainkan cuma suara kecil dari kelompok yang hendak menjegalnya di pilpres Oktober mendatang.
Brasil yang dimaksud Dilma dalam suratnya benarbenar warga ramah yang bisa menerima segala bentuk perbedaan. Termasuk menerima kekalahan tim kesayangannya dan mendengar ejekan terusmenerus dari Argentinos dalam tiga hari terakhir menjelang laga puncak di Estadio do Maracana.
Karena itu, tak mengherankan bila raut wajah Dilma tampak begitu tenang meski disoraki seisi stadion dengan teriakan, Hey Dilma, vai tomar no cu!” (hei Dilma, enyahlah engkau), setiap sosoknya muncul di empat layar raksasa Maracana.
Ia tahu bahwa di hati kecil mereka, cemoohan sama sekali tak berkaitan dengan sepak bola atau Piala Dunia yang digelar Brasil, melainkan lebih kepada serangan pribadi atas kursi panas yang ia duduki.
Kebesaran Jiwa Brasil
Keamanan yang terasa di udara Brasil sejak start hingga fi nis, rasanya cukup untuk menggambarkan betapa 200-an juta jiwa rakyat Brasil memiliki kebesaran jiwa menerima kegagalan maupun penghinaan dari warga Argentina. Faktanya memang demikian. Selecao memang lebih inferior dari Albicelestes dari perspektif prestasi di Piala Dunia kali ini.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di Buenos Aires seusai Messi cs. dipaksa takluk 0-1 dari Jerman. Argentinos terbukti tak bisa menerima kekalahan dengan jiwa besar.
Mereka condong memilih jalur ekstrem guna menyuarakan aspirasi dengan melampiaskan amarah ke pihak aparat. Bahkan, ada yang sampai menjarah toko segala.
Jalanan Brasil di sisi lain, tetap menggelar fi esta. Baik berupa teriakan mendukung Jerman yang baru menjadi juara, suara kebanggaan tentang lima gelar Piala Dunia yang telah mereka kantongi, hingga ejekan balasan kepada suporter Argentina yang sebelumnya meledek mereka habis-habisan.
Seperti yang dikatakan Dilma, Jerome Valcke pun menyuarakan pujian setinggi langit bahwa Brasil telah menggelar pesta sepak bola terbaik dari yang pernah ia saksikan. Padahal, beberapa hari sebelum turnamen dimulai, Sekjen FIFA ini bersuara paling lantang menyoal ketidaksiapan Brasil menggelar Piala Dunia.
Kami berhasil menggelar sebuah kejuaraan yang awalnya kami sendiri pun ragu, dan orang lain mencibir tentang ketidakmampuan kami. Bahkan, penampilan buruk timnas kami tak cukup untuk merusak suasana indah ini,” kata Alessandro, seorang warga Brasil yang ditemui di luar Maracana.