Claudio Ranieri merupakan manajer tua yang kurang beruntung. Berlabel kawakan, Italiano satu ini memang sebelumnya cuma spesialis runner up.
Label selalu mendapat juara dua di level tertingginya, The Tinkerman tak bisa lepas dari cap tak enak tersebut. Bak Timnas Belanda, Ranieri memang kerap tersandung.
Sudah belasan tim ia latih. Tapi gelar kampiun alias juara ia ciptakan bersama tim yang tadinya bukan apa-apa bahkan hampir 'nothing'.
Di musim yang gila ini, manajer berusia 64 tahun ini akhirnya merengkuh kesuksesannya yang sedikit terlambat. Tapi lebih baik terlambat bukan daripada tidak samasekali?
Tentu jawabannya iya. Dan Ranieri sungguh membuktikan bisa mencetak sejarah dengan cara yang spesial. Ia juga menciptakan sejarah tersendiri bagi The Foxes yang perdana juara.
Ranieri dan The Foxes memastikan gelar titel setelah 77 poin yang mereka miliki sudah tak mungkin lagi terkejar oleh Tottenham Hotspur yang bermain imbang melawat ke rumah Chelsea 2-2.
Betapa terharu campur girangnya Ranieri ketika gelandang The Blues, Eden Hazard menciptakan gol indah penyeimbang laga Chelsea versus Spurs yang begitu keras dan seru.
Ranieri pun langsung menelepon manajer Guus Hiddink, ia mengucapkan terimakasih kepada Hiddink karena secara tak langsung mengantarkan gelar lebih cepat lewat laga tersebut.
Sang meneer pun tak lupa mengucapkan selamat pada Ranieri. Kini dunia mengakui, tim yang dibentuk dengan kerja keras, cinta dan semangat memang bisa melawan apapun.
Uang bukan segalanya. Setidaknya begitulah yang ditunjukkan tim yang bermarkas di King Power Stadium ini. Persetan dengan dukungan biksu dan magic-magic lainnya terkait juara Leicester.
Bukan karena para investornya dari ranah Asia dengan segala unsur spiritualnya, Leicester memang juara karena faktor terbesar yang tak lain adalah kerja keras dari para pelatih, pemain, dan seluruh staf yang mencintai klub ini.
Jadi ingatlah masa kini dan ingatlah Leicester, wahai kalian klub dan (pengidola) tim yang dibentuk klub kalian dengan gelontoran uang dan pemain bintang.