Konser musik adalah ajang ekspresi utama bagi para musisi. Dan ajang apresiasi juga bagi para pencintanya. Di event konser inilah musisi bisa berhadapan langsung dengan pencinta musik dan di situ lah interaksi terjadi secara maksimal.   Namun apa jadinya apabila ajang interaksi itu dicekal? Sulit dibayangkan namun itulah yang terjadi di provinsi Jawa Barat. Dalam salah satu berita di Pos Kota Online, disebutkan bahwa Gubernur Jabar telah mengeluarkan pernyataan resmi untuk melarang konser musik underground. Langkah ini diambil pasca tragedi AACC yang terjadi pada bulan Februari lalu dimana konser grup Beside menelan korban jiwa.   Jika kita bertanya kembali, apakah adil mencekal seluruh konser underground hanya karena satu kasus? Pasti jawabannya bermacam-macam. Namun yang pasti, dalam hal keselamatan konser, bukan hanya musik atau scene-nya yang harus dipermasalahkan. Konser itu diadakan dengan keterlibatan banyak pihak.   Yang pertama tentu saja panitia. Panitia adalah penanggung jawab utama keselamatan semua pihak mulai dari artis, penonton, dan panitia itu sendiri. Panitia harus mengenal betul segala macam yang berhubungan dengan konser yang diadakannya. Yang paling utama (namun sering dilupakan) adalah berapa kapasitas venue dan berapa tiket yang dijual. Ini sering kali menjadi faktor utama konser menelan korban.   Selain itu akses keluar masuk venue juga merupakan hal yang krusial pada sebuah konser. Banyak juga korban yang berjatuhan saat terjadi bottle neck di pintu keluar venue. Penonton yang ratusan atau bahkan ribuan jumlahnya harus melalui pintu yang sempit. Sebaiknya akses keluar masuk venue dibuat dengan lebar yang memadai. Atau jalan lainnya adalah diperbanyak, jadi lalu lintas penonton tidak terfokus pada satu pintu saja.   Selain panitia, siapa lagi yang mengambil peran penting dalam keselamatan konser? Simak di artikel berikutnya. [rad]   Sumber foto: immersedband.combanner-ads