Andrea Dovizioso muncul sebagai saingan utama buat Marc Marquez di MotoGP. Sudah dua kali ia jadi runner up sang juara dunia.
Dengan karakteristik yang berbeda dengan pembalap Spanyol, pendekatan analitik Dovizioso sering dianggap sebagai kunci di balik kesuksesannya. Tetapi juga kelemahan di balik kemampuannya untuk mengukurnya menjadi juara dunia MotoGP.
Dalam kolaborasi Red Bull dan Dorna, Dovizioso Undaunted, semacam siaran langsung bersama Marquez Unlimited yang juga mencakup musim 2019, film dokumenter ini mengikutinya baik di dalam maupun di luar trek.
Sementara film Dovizioso terasa lebih mentah daripada versi Marquez. Sebuah hal yang mungkin wajar mengingat ia gagal mencapai tujuan utamanya.
Salah satu faktor ternyata adalah lingkungan. Dovizioso diduetkan dengan Jorge Lorenzo yang kemudian pindah ke Honda, lalu dengan Danillo Petrucci. Dari kedua rider tak ada yang benar-benar tajam di lintasan dengan Desmosedici.
Kritikus terbesar Dovizioso adalah dirinya sendiri. Tema ini menjadi isu inti sepanjang musim, dengan Dovizioso mengkritik motor dan dirinya sendiri sampai-sampai hampir terasa seperti dia backmarker daripada penantang gelar.
Ini adalah tanda dari standar tinggi yang dia tetapkan. Belum lagi perbedaan dengan Marquez terus menjauh.
"Mungkin kesalahan yang lebih sedikit memungkinkannya membawa pulang banyak hasil bagus, tetapi mungkin dia kurang memiliki sentuhan kegilaan yang mungkin dihargai oleh Ducatisti," kata Claudio Domenicali, CEO Ducati.
“Saya ingin melihatnya lebih naluriah dan kurang bijaksana, terutama dalam situasi balapan. Mari kita perjelas, menjadi seorang rasionalis memungkinkan Anda membawa pulang hasil terbaik dalam beberapa balapan, tetapi di balapan lain, Anda harus membiarkan yang lain berlari, untuk berbicara. Dalam hal ini, Andrea mungkin bisa berbuat lebih baik,” lanjut Gigi Dall’Igna, manajer umum Ducati.